Get me outta here!

Jumat, 04 Maret 2016

Hukum Adat di Indonesia

1. Pengertian dan Istilah Adat

Apa yang dimaksud dengan adat ?
Istilah adat berasal dari bahasa Arab, yang apabila diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia berarti “kebiasaan”. Adat atau kebiasaan telah meresap kedalam Bahasa Indonesia, sehingga hampir semua bahasa daerah di Indonesia telah menganal dan menggunakan istilah tersebut.
Adat atau kebiasaan dapat diartikan sebagai berikut :
“Tingkah laku seseoarang yang terus-menerus dilakukan dengan cara tertentu dan diikuti oleh masyarakat luar dalam waktu yang lama”.

Dengan demikian unsur-unsur terciptanya adat adalah :
1. Adanya tingkah laku seseorang
2. Dilakukan terus-menerus
3. Adanya dimensi waktu.
4. Diikuti oleh orang lain/ masyarakat.

2. Istilah Hukum Adat

Istilah “Hukum Adat” dikemukakan pertama kalinya oleh Prof.Dr. Cristian Snouck Hurgronye dalam bukunya yang berjudul “De Acheers” (orang-orang Aceh), yang kemudian diikuti oleh Prof.Mr.Cornelis van Vollen Hoven dalam bukunya yang berjudul “Het Adat Recht van Nederland Indie”.

Dengan adanya istilah ini, maka Pemerintah Kolonial Belanda pada akhir tahun 1929 meulai menggunakan secara resmi dalam peraturan perundang-undangan Belanda.
Istilah hukum adat sebenarnya tidak dikenal didalam masyarakat, dan masyarakat hanya mengenal kata “adat” atau kebiasaan. Adat Recht yang diterjemahkan menjadi Hukum Adat dapatkah dialihkan menjadi Hukum Kebiasaan.

3. Pengertian Hukum Adat

Apa hukum adat itu ?
Untuk mendapatkan gambaran apa yang dimaksud dengan hukum adat, maka perlu kita telaah beberapa pendapat sebagai berikut :
  • Prof. Mr. B. Terhaar Bzn

Hukum adat adalah keseluruhan peraturan yang menjelma dalam keputusan-keputusan dari kepala-kepala adat dan berlaku secara spontan dalam masyarakat. Terhaar terkenal dengan teori “Keputusan” artinya bahwa untuk melihat apakah sesuatu adat-istiadat itu sudah merupakan hukum adat, maka perlu melihat dari sikap penguasa masyarakat hukum terhadap sipelanggar peraturan adat-istiadat. Apabila penguasa menjatuhkan putusan hukuman terhadap sipelanggar maka adat-istiadat itu sudah merupakan hukum adat.
  • Prof. Mr. Cornelis van Vollen Hoven

Hukum adat adalah keseluruhan aturan tingkah laku masyarakat yang berlaku dan mempunyai sanksi dan belum dikodifikasikan.
  • Dr. Sukanto, S.H.

Hukum adat adalah kompleks adat-adat yang pada umumnya tidak dikitabkan, tidak dikodifikasikan dan bersifat paksaan, mempunyai sanksi jadi mempunyai akibat hukum.
  • Prof. M.M. Djojodigoeno, S.H.

Hukum adat adalah hukum yang tidak bersumber kepada peraturan peraturan.
  • Prof. Dr. Hazairin

Hukum adat adalah endapan kesusilaan dalam masyarakat yaitu kaidah kaidah kesusialaan yang kebenarannya telah mendapat pengakuan umum dalam masyarakat itu.
  • Prof. Dr. Soepomo, S.H.

Hukum adat adalah hukum tidak tertulis didalam peraturan tidak tertulis, meliputi peraturan-peraturan hidup yang meskipun tidak ditetapkan oleh yang berwajib tetapi ditaati dan didukung oleh rakyat berdasarkan atas keyakinan bahwasanya peraturan-peraturan tersebut mempunyai kekuatan hukum.

Dari batasan-batasan yang dikemukakan di atas, maka terlihat unsure-unsur dari pada hukum adat sebagai berikut :
  1. Adanya tingkah laku yang terus menerus dilakukan oleh masyaraka.
  2. Tingkah laku tersebut teratur dan sistematis
  3. Tingkah laku tersebut mempunyai nilai sacral
  4. Adanya keputusan kepala adat
  5. Adanya sanksi/ akibat hukum
  6. Tidak tertulis
  7. Ditaati dalam masyarakat


4. Corak Hukum Adat di Indonesia

  • TRADISIONAL

Contoh nyata : Didaerah Cepu Jawa Tengah masih mengenal adanya sistem sesaji yang biasa disebut dengan manganan. Yaitu mana setiap rumah harus mengirimkan seloyang makanan yang berisi hasil bumi untuk dibawa ke suatu tempat yang biasa disebut dengan kramat atau punden. Dimana ditempat tersebut masyarakat mempercayai adanya penunggu atau dewa yang memberikan kesuburan dan yang menjaga tanaman atau tanah yang mereka tanami dari roh-roh jahat. Masyarakat desa percaya bahwa orang yang dikubur di kramat atau punden tersebut adalah orang pertama yang membangun desa hingga menjadi semakmur sekarang. 
  • KEAGAMAAN / RELIGIO MAGIS

Contoh nyata : Didaerah Cepu Jawa Tengah adanya budaya manganan membawa sugesti kepada masyarakat. Budaya manganan diselenggarakan setelah sawah yang mereka garap menghasilkan padi-padi yang berkualitas atau dapat dikatakan mereka menggelar manganan setelah panen padi berhasil. Mereka percaya apabila tidak membawa hasil bumi ke kramat maka tanah atau sawah yang mereka garap tidak akan subur dan bagi petani yang menggarap sawah maka sawah mereka akan selalu gagal panen. Dan bagi mereka yang bekerja dibidang lain, rejeki yang diperoleh akan sedikit. Masyarakat disana mempercayai Allah namun mereka juga mempercayai adanya tenaga magis (gaib) yang berasal dari kramat.
  • KEBERSAMAAN / COMMUNAL

Contoh nyata : Jika dikota dalam mendirikan rumah biasa menggunakan jasa tukang, maka hal ini berbanding terbalik dengan adat didaerah Cepu Jawa Tengah. Dalam mendirikan rumah, warga melakukannya dengan sistem gotong royong. Mereka melakukan hal itu secara  bersama-sama dan saat proses memasang wuwung (tiang penyangga rumah) pemilik rumah akan mengadakan prosesi slametan/syukuran berharap agar rumah yang akan dihuni aman dari gangguan roh jahat. Biasanya dalam slametan tersebut pemilik rumah akan menyediakan ayam inkung/sebuah ayam panggang yang disajikan dan diletakkan tepat dibawah titik tiap tiang bertemu. Adat mendirikan rumah seperti ini selalu dilakukan oleh warga secara bersama-sama/gotong royong. Mereka percaya, semakin banyak orang yang ikut mendirikan maka akan semakin kuat rumah tersebut.

KONKRIT DAN VISUAL
  • KONKRIT

Contoh nyata : Di pasar biasanya para ibu membeli sayur mayur serta membeli keperluan dapur lainnya seperti bumbu dan peralatan memasak. Karena di pasar bukan supermarket maka antara penjual dan pembeli dapat melakukan proses tawar menawar agar timbul harga yang akan mereka sepakati secara bersama. Penjual memang sudah mematok harga barang yang dijual, namun pembeli dapat menawarnya. Setelah harga yang telah disepakati cocok, maka pembeli akan memberikan sejumlah uang dan penjual akan memberikan barang dagangannya sebagai tanda setuju dengan harga yang diberikan. Dengan demikian, pembeli dapat membawa pulang barang yang dibelinya dengan sejumlah uang yang diberikan kepada penjual. 
  • VISUAL

Contoh nyata : Didaerah Cepu Jawa Tengah masih mengenal adanya tradisi peningset / tunangan / tukar cincin. Dimana dua sejoli yang saling mencintai perlu membuat adanya pengikat yang kuat agar hubungan yang mereka bina dapat langgeng hingga proses pernikahan menghampiri keduanya. Disini, biasanya sang pria akan membawakan cincin serta seperangkat emas dan perabotan rumah tangga yang lain. Cara ini biasa dilakukan untuk menghargai keluarga wanita. Rasa menghargai akan diukur dari mahal, banyak/sedikitnya barang yang dibawa pihak pria. Semakin banyak dan mahal barang yang dibawa, maka pihak wanita akan beranggapan bahwa pihak pria begitu menghargai calon keluarga istrinya.

TERBUKA DAN SEDERHANA
  • TERBUKA

Contoh nyata : Di daerah Cepu Jawa Tengah memang masih menggunakan tradisi adat, namun mereka juga mengikuti perkembangan dunia. Walaupun masih menggunakan adat kejawen dalam kehidupan sehrai-hari namun mereka juga mau menerima datangnya budaya barat seperti adanya cafe, bar, dan hiburan lain yang dibawa oleh turis yang datang ke Cepu. Masyarakat terbuka akan datangnya unsur-unsur luar namun setelah melewati penyaringan agar sesuai dengan adat setempat. Meraka tidak akan dengan mudah menghakimi adat luar yang masuk, namun mereka akan memilih serta memilahnya secara cermat. 
  • SEDERHANA

Contoh nyata : Dijelaskan pada corak diatas bahwa di daerah Cepu Jawa Tengah melaksanakan adat dengan baik, sederhana dan tidak mengenal adanya budaya administrative. Mereka bergotong royong dalam mendirikan rumah, melakukan tradisi sedekah bumi tanpa adanya surat perintah tertulis dari kepala desa atau perangkat desa lainnya. Masyarakat mengadakan budaya tersebut dengan sederhana dan penuh suka cita. Saat manganan biasanya kepala desa mengundang dalang, sinden beserta anggotanya dari luar daerah Cepu untuk ikut memeriahkan pesta desa. Para wiyogo tersebut tidak meminta upah namun kepala desa memberi mereka dengan hasil bumi yang dihasilkan warga dari panen hasil garapan.
  • DAPAT BERUBAH MENYESUAIKAN KEADAAN

Contoh nyata : Adat pernikahan di Cepu Jawa Tengah saat pengantin pria datang ke rumah pengantin wanita maka keluarga sang pria membawa seperangkat hasil bumi atau biasa disebut seserahan manten / mahar. Namun seiring berkembangnya waktu, mahar yang dibawa oleh keluarga pria tidak lagi hasil bumi tetapi dapat diganti dengan sejumlah uang atau emas. Mahar yang dibawa dapat mencerminkan sikap menghargai dari keluarga sang pria kepada keluarga sang wanita. Banyak sedikitnya mahar yang dibawa menentukan seberapa kaya sang pria. Seiring berjalannya waktu mahar yang dibawa tidak harus hasil bumi namun dapat berubah-ubah menyesuaikan keadaan dan kemajuan Negara.
  •  TIDAK DIKODIFIKASI

Contoh nyata : Adat yang masih berjalan hingga saat ini di daerah Cepu Jawa Tengah seperti manganan, mendirikan rumah, seserahan manten tidak dikodifikasi secara khusus. Adat ini berjalan tanpa adanya aturan yang mengikat, masyarakat mempercayainya sebagai sesuatu yang diperoleh secara turun-temurun tanpa adanya paksaan. Masyarakat melakukannya sesuai dengan petunjuk sesepuh desa. Mereka percaya, apa yang mereka lakukan akan di ridhoi oleh Allah. Masyarakat tidak lagi membutuhkan adanya kodifikasi adat di desa mereka. Aturan yang ada tidak perlu dikodifikasi namun harus selalu dilakukan agar desa tetap makmur dan terhindar dari segala mala petaka.
  • MUSYAWARAH MUFAKAT


Contoh nyata : Di desa yang terletak di Jawa Tengah tepatnya di Cepu apabila terjadi perselisihan antar warga maka jogoboyo (petugas kepolisian desa) beserta para pamong desa yang lain akan menyelesaikan masalahnya di kantor desa untuk mencapai musyawarah mufakat. Mereka menggunakan azas rukun dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi warganya. Hal ini sebagai sarana penyelesaikan perselisihan / sengketa berdasarkan azas rukun. Warga yang berselisih datang dan ikut menyelesaikan masalahnya apabila sudah ditemukan titik terang mengenai masalah yang dihadapi, mereka harus dengan lapang dada saling memaafkan. Intinya semua permasalahan diselesaikan secara musyawarah bersama-sama dengan kepala desa, pamong desa, serta warga yang berselisih.


Sumber :

0 komentar:

Posting Komentar