Telah kita ketahui bahwa bencana kabut asap yang melanda Riau pada tahun 2015 ini adalah bencana kabut asap yang bisa dibilang paling parah dibanding dengan tahun-tahun sebelumnya. Asap yang melanda kota Riau berdampak pada berbagai bidang kehidupan. Pendidikan, akibatnya sekolah-sekolah diliburkan sehingga mengurangi kegiatan belajar mengajar para siswa/i di Riau. Anak-anak kecil juga tidak bisa leluasa bermain seperti biasanya. Mereka harus menggunakan masker setiap hari dan bukan sembarang masker yang bisa dipakai, namun harus masker khusus jenis N95. Kabut asap ini tentunya juga sangat berdampak buruk bagi bidang kehidupan yang lain, Ekonomi contohnya.
Dampak ekonomi tahun ini lebih besar Rp20 triliun dibandingkan dengan tahun 2014 lalu. Sungguh jumlah yang sangar besar, bukan? Bayangkan saja, apa yang dapat pemerintah lakukan dengan dana sebesar itu jika disalurkan ke bidang-bidang yang lain.
Kepala Pusat Data
Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Sutopo Purwo
Nugroho, mengatakan angka itu didasarkan pada data tahun lalu. Terungkap bahwa
kerugian akibat kabut asap 2014 yang dihitung selama tiga bulan dari Februari
sampai April hanya dari Provinsi Riau mencapai Rp20 triliun. Namun dari jumlah
wilayah yang terkena serta tingkat keparahan kabut asap yang terjadi tahun ini,
Sutopo memperkirakan jumlah kerugian kali ini akan lebih besar.
"Ya pasti. Kalau
melihat skalanya lebih luas, pasti lebih tinggi (kerugiannya). Pada 2014
terkonsentrasi terutama di Riau, sekarang lebih meluas penyebaran asapnya di
Sumatera dan Kalimantan. Saya lagi menghitung ini (kerugiannya)," kata
Sutopo.
Kebakaran hutan dan
lahan serta kabut asap tahun ini terjadi di Sumatera Selatan, Jambi, Riau,
Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan. Perhitungan ekonomi
tersebut nantinya akan berdasar pada angka produk domestik regional bruto
(PDRB) bulanan masing-masing provinsi, dan membandingkan jumlah regulernya
dengan pemasukan provinsi pada bulan-bulan terjadi kabut asap. Menurut Sutopo, ada
beberapa provinsi yang perhitungan kerugiannya dilakukan berdasarkan PDRB bulan
Agustus dan provinsi lain pada bulan September, tergantung bulan-bulan di mana
jumlahhotspot (titik api) terdeteksi paling banyak, begitu pula
asapnya.
"Parah-parahnya
(kabut asap) mulai 1 September. Hitungan saya lebih dari Rp20 triliun dibanding
2014," ujar Sutopo lagi.
Produk domestik
regional bruto, menurut Sutopo, akan mencatat perputaran uang dalam suatu
daerah. Jumlah penerbangan yang gagal terbang, hotel, industri makanan, kontrak
bisnis yang batal, atau berkurangnya wisatawan akan tercermin dalam data PDRB. Namun angka kerugian
finansial ini belum memasukkan elemen kerugian dari sisi pengeluaran atau
dampak kesehatan, hilangnya keanekaragaman hayati, atau perhitungan emisi gas
rumah kaca. BNPB sudah
menganggarkan Rp385 miliar untuk pemadaman lahan dan hutan yang terbakar. Dalam rapat dengar
pendapat di DPR Rabu (16/9) malam, Dewan Perwakilan Rakyat juga menyetujui
penambahan anggaran Rp650 miliar untuk Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan. Anggaran ini nantinya
akan digunakan untuk menanggulangi kebakaran hutan dan lahan serta kabut asap.
Kekurangan
pendapatan
PT Angkasa Pura II
sebagai pengelola beberapa bandara yang terkena dampak kabut asap juga
mengakui, dalam sepekan terakhir, mereka kehilangan pendapatan, terutama dari
Tarif Pelayanan Jasa Penumpang Pesawat Udara atau biasa dikenal dengan passenger
service charge (PSC). Manajer Humas Angkasa
Pura II Achmad Syahir mengatakan, bandara mereka yang terkena dampak kabut asap
ada di Palembang, Pontianak, Jambi, dan Pekanbaru. Jarak pandang di
bandara-bandara tersebut cukup beragam, dari di bawah 200 meter sampai di bawah
1.000 meter.
"Jambi dan
Pekanbaru yang paling terkena dampak. Kemarin saja di Pekanbaru ada 20
penerbangan yang batal," kata Achmad pada BBC Indonesia.
Di Jambi, rata-rata
penerbangan yang batal juga sampai 20 per hari.
Tetapi di Palembang
dan Pontianak, ada waktu-waktu yang jarak pandangnya bagus sehingga pesawat
bisa terbang atau mendarat. Rata-rata dalam sehari, di dua bandara tersebut,
bisa ada 10 penerbangan yang batal.
"Kita belum
sampai menghitung dampak kerugian. Kita lebih membahasakan pengurangan
pendapatan, tapi kita belum menghitung sampai ke sana. Tapi otomatis dalam
seminggu itu saja ya, lumayan. Yang bisa terhitung langsung dari PSC, tapi
komponen itu masuk dalam tiket, jadi kita nggak bisa mengetahui langsung. Harus
dihitung dulu," ujar Achmad.
Belum lagi, jika
bandara sepi penumpang, maka bisnis-bisnis yang menyewa ruang dalam bandara
akan kehilangan pemasukan.
Jam terbang
Pengamat penerbangan
Gerry Soejatman juga mengatakan, dari sisi maskapai penerbangan, mereka
langsung menghadapi kehilangan pendapatan. "Pesawat yang
tidak bisa terbang, menunggu, itu sudah ada pengeluaran ekstra. Pesawat kan
harus terbang terus ya untuk membawa pemasukan. Lalu terbang, tapi tak bisa
mendarat, berputar-putar, itu juga bahan bakarnya ekstra," kata Gerry.
Pesawat-pesawat yang
terbang berputar-putar juga akan menaikkan jam terbang sehingga meningkatkan
usia pesawat lebih cepat dari seharusnya dan membuat biaya perawatan lebih
mahal. Menurut Gerry, ada
juga potensi maskapai kehilangan kepercayaan dari penumpang.
"Di kondisi
seperti ini, penumpang belum tentu menerima kalau ini (tidak bisa terbang)
bukan salah dari maskapai. Penumpang tidak mau tahu, ada yang begitu, 'pokoknya
yang salah airline'," kata Gerry.
0 komentar:
Posting Komentar